Dalam tradisi Islam, isteri Nabi Nuh memiliki peran yang cukup kontroversial. Berdasarkan sumber-sumber Islam, isteri Nabi Nuh tidak mengikuti ajaran suaminya dan tidak naik ke dalam bahtera saat banjir besar terjadi. Sebaliknya, dia termasuk di antara orang-orang yang tenggelam dalam banjir tersebut karena kekafirannya.
Tradisi Islam
Dalam Al-Qur’an, isteri Nabi Nuh disebutkan secara implisit sebagai salah satu contoh orang yang tidak beriman, meskipun dia adalah istri dari seorang nabi. Allah SWT berfirman dalam surah At-Tahrim ayat 10 yang berbunyi:
$$
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتٰهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا وَّقِيْلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدّٰخِلِيْنَ
$$
Artinya: "Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang kufur, yaitu istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah (tanggung jawab) dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu keduanya berkhianat kepada (suami-suami)-nya. Mereka (kedua suami itu) tidak dapat membantunya sedikit pun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), ‘Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).’"
Dalam Tradisi Lain
Menurut beberapa sumber, nama isteri Nabi Nuh adalah Waligha atau Nahama binti Tzila. Namun, ada juga yang menyebutkan namanya adalah Amzurah binti Barakil. Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama dan nasibnya, tetapi yang jelas, dalam tradisi Islam, dia tidak selamat dari banjir besar karena tidak beriman.
Kesimpulan
Kisah isteri Nabi Nuh mengajarkan kita bahwa keimanan seseorang tidak ditentukan oleh kedekatannya dengan orang-orang saleh, bahkan seorang nabi sekalipun. Ini merupakan pelajaran penting tentang pentingnya memilih jalan yang benar dan beriman kepada Allah SWT.